Ditinjau Dari Pengelompokan Budaya
Hj.Irene A. Muslim
S.Jacobus E.Frans L.
OLEH
Mulyadi
(1001411006)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI
F A K U L T A S USHULUDDIN
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
BANJARMASIN
2011
BAB I
PENDAHULUAN
Suku bangsa Dayak[1] sebagai masyarakat hokum adat mempunyai
hubungan yang erat dengan lingkungan hidupnya. Mereka sering
dipengaruhi oleh alam pikiran religeo magis. Kenyataan yang demikian
tidak selalu mudah untuk dimengerti atau dipercayai oleh setiap orang.
Sebaliknya, masyarakat Dayak menganggap pengetahuan akan tanda-tanda
atau simbol-simbol tertentu dalam kehidupan mereka adlah hal yang wajar,
meskipun sebenarnya tidak semua orang memiliki kepandaian untuk itu. F.D. Holleman dalam pidato inaugurasi “ De Commune Trek In Het Indonesische Reschtsleven” (Corak kegotong royongan dalam Kehidupan Hukum Indonesia) menyatakan;
“Religion
magis/ sacral: artinya percaya kepada kekuataan ghaib (magis) sebagai
suatu kekuatan yang menguasai alam semesta dan seisinya dalam keadaan
kesinambungan. Karena itu, setiap masyarakat hokum adat pada dasarnya
merasa wajib untuk senantiasa turut menjaga dan mempertahankan keadaan kesinambungan alam yang terwujud berkat adanya kekuataan ghaib.”
Bagi
orang dayak adanya kemungkinan dan kemampuan untuk berkomunikasi dengan
alam, baik dengan alam ghaib maupun dengan alam nyata tidak banyak
menjadi pertanyaan dalam kehidupan, karena mereka selalu memelihara
pengetahuan dan kepercayaan pada tanda-tanda alam tersebut. Sebagian
besar orang dayak percaya bahwa ada tanda-tanda dan kekuatan supra natural yang dapat menimbulkan keghaiban melalui pristiwa tertentu.
Terlebih dahulu dikemukakan pengelompokan untuk melihat keberadaan atau menempatkan hubungan antara
masyarakat hokum adat suk bangsa Dayak yang satu dan yang lainnya.
Salah satu pendekatan dalam pengelompokan ini adalah persamaan
unsure-unsur kebudayaan, seperti seni tari, seni suara, seni rupa, dan
seni music.
Namun
tidak berarti bahwa symbol-simbol adat yang dimiliki atau diyakini oleh
semua masyarakat hokum adat suku Dayak itu akan terangkum dalam makalah
ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengelompokan budaya
Hubungan
antar-subsuku dayak dapat ditelusuri melalui berbagai pendekatan. Salah
satu diantarannya adalah melalui seni-budaya: tarian, ukiran, atau
lukisan dan music.
a. Tarian
Dalam
berbagai kesempatan penampilan tarian ttradisional-terutama dilihat
dari gerak-gerik langkah, bentuk dan bunyi instrument music, serta
bentuk dan motif pakaian tradisional-tampak bahwa seni tari antara
subsuku bangsa Dayak yang satu dengan yang lainnya mempunyai banyak
persamaan. Persamaan ini dapat menunjukan indikasi bahwa terdapat
hubungan kekerabatan pada masa lampau. Kelompok-kelompok demikian adalah
sebagai berikut:
1. Orang kayan, Punan, Bukat dan Oheng (Peneheng) mempunyai alat music sape dan tarian serta motif busana yang sngat mirip.
2. Orang
Iban, Kantuk, Muwalang, Seberuang, Tabun di Ketungau, Desa di
Lebang/Kapuas, Lino di Melawidan Bungao, dalam memukul gong, tawak,
gendang, bebendai serta Engkerumong (gamelan kecil), kemudian mereka
menari, akan terkesan bahwa bunyi instrument, gaya tari, dan motif
busana mereka ada kesamaan.
3. Orang
Banuaka’ Taman di Banua’ Sio, Mandalam, Kapuas dengan Banuaka’ di
Kalis, Paniung, Sabintang, dan di Alau, Apalin, Nanga Nyabo, dll. Yang
mana gaya dan motif busana mereka ada kesamaan.
4. Orang Jangkan Ribun, Pandu, Pompang, Desa di Maliau, sama dalam memukul gong, tawak, gaya tari, dan motif busana.
b. Busana tradisional
1. Kelompok
Dayan Kayan, Iban dan Banuaka’ untuk pakaian laki-laki mempunyai
kesamaan dalam: Cawat (sirat, kainampura), rompi (gagung), topi (kambu).
2. Kelompok
Ud Danum, Kaninjal, Undau, Kubin mempunyai kesamaan dalam busana dan
senjata perang/ berburu serta beberapa peralatan rumah tangga.
c. Ukiran
1. Kelompok
Banuaka’ terkesan adanya kesamaan dengan kelompok Kayan dan kelompok
Iban dalam bentuk dekoratif walaupun pada kelompok Kayan lebih
menonjolkan motif akar atau pakis, sedangkan Iban lebih menonjolkan
motif daun-daun dan Banuaka’ menonjolkan dari penggabungan motif
keduanya.
2. Kelompok Ut Danum, Kaninjal, Undau, Kubin mempunyai kesamaan dalam berbagai motif ukiran.
3. Ukiran
Jangkang-Ribun banyak kesamaan dengan Mahap, Mentuka, Kerabat Bedayuh
Menyuke, Kanayatn, Lara, Jagoi, Bakati, suku bangsa Kayung-Jelai, dan
Siring (Simpang).
4. Ukiran Kanayatn banyak persamaan dengan Menyuke, Lara, dan Bakati serta Kayung-Jelaai di Kabupaten Ketapang.
d. Bahasa
Persamaan-persamaan languistik terdapat sangat jelas pada:
1. Orang Kayan dengan Punan, dan Bukat
2. Orang
Banuaka’ di: Banua Sio, Mandalam, Kapuas, dengan Kalis, dan Paniung,
Sebintang, Alau, Apalin,Nyabo, Nanga Nyabo, Sunge Ulo dengan di
Tamambalo, Tamao sertra Labiyan.
3. Orang Suruk dengan Memayan, dan Suhaid.
4. Orang Iban dengan Kantuk, Seberuang, Muwalang, Ketungau, Seburuk, dan Desa.
5. Orang suku Kaninjau dengan Undau, Kubin, dan Linau.
6. Orang Jangkang dengan Ribun,Pandu, Mahab, Mantuka, Kerabat, Pompang dan Simpang.
7. Orang banyuke’, Kanayatn, Bakati, Lara, Jagoi.
8. Orang Jelai dengan Kendawang, Pesaguan, Kayung di Kabupaten Ketapang.
e. struktur kemasyarakatan
Di Kalimantan terdapat dua subsuku yang mempunyai struktur masyarakat berlapis, yaitu:
1. Orang Kayan yang masyarakatnya terdiri dari hipi (orang bangsawan), payin (warga biasa), dan dipan (budak).
2. Orang Banuaka dengan struktur masyarakat yang terdiri dari samagat (bangsawan), babiring (bangsawan campuran masyarakat biasa), banua (masyarakat biasa), dan pangkam (budak)[2].
f. macam-macam simbol
Dalam
pengenalan dan penggunaan simbl-simbol dalam masyarakat Dayak di
Kalimantan Barat jelas terdapat banyak kesamaan. Hal ini ada kaitannya
dengan kepercayaan mereka, dengan menganggap bahwa alam itu , baik yang
nyata maupun yang ghaib, merupak sumber dan basis kehidupan.
Oleh
karena itu, jika mereka bijaksana menata alam mereka akan mendapat
rezeki dari alam, dibantu, dan bahkan akan di lindungi leh alam. Dalam
masyarakat Banuaka ada yang disebut dengan karue, dan pada Iban ada penfaroh yaitu
suatu benda alam, baik berupa batu, kayu, tulang, atau benda lain yang
bentuknya menyerupai benda atau binatangf tertentu dianggap mempunyai
roh atau kekuatan ghaib yang dapat membantu manusia dalam mencatri
rezeki.
g. Kegunaan
1. Untuk mengatasi dalam menyatakan keadaan perang.
Keputusan untuk mengedarkan simbol-simbol ini diambil dalam suatu musyawarah adat luar biasa.
a. Mangkok Merah pada kelompok Dayan Kanayatn, yang terdiri dari;
1) Mangkok kecil putih yang di olesi dengan darah hewan
2) Bulu ayam
3) Tongkat api (puntung kayu api yang sudah dibakar)
4) Potongan atap (kajang)
b. damak/ Patuong pada Dayak desa di kecamatan Meliau kabupaten Sanggau, yang terdiri dari;
1) korek api/ punting kayu yang sudah dibakar
2) bulu ayam
3) potongan atap (kajang)
c. bungae Jarao pada Dayak Iban, dipergunakan sebagai alat komunikasi yang terdiri dari;
1) bentuk bunga dari irisan kayu
2) punting kayu api yang sudah dibakar
3) bulu ayam
4) potongan atap (kajang)
Pengedaran
mangkok merah, Bungae jarao, damak/patuong ditujukan pada kaum kerabat
mohon bantuan segera. Khusus untuk masyarakat Kanayatn, pengedaran
tersebut harus dari restu nenek moyang mereka yang dimohonkan dalam
upacara sakralmelalui Pantak Padagi. Oleh karena itu setiap orang atau
setiap kampong yang dilewati atau dituju harus meneruskannya kepaa orang
atau kampong pertama berikutnya, sampai symbol itu kjembali lagi ke
orang atau kampong pertama yang mengedarkannya.
Tetapi
apabila terhenti disuatu kampong tanpa alas an yang dapat dipertanggung
jawabkan, maka kampong tersebut akan dikenakan sanksi berupa hokum adat
Pati Nyawa (tebusan jiwa), atau di klasifikasikan sebagai musuh, atau
dikutuk oleh arwah nenek moyang.
Selain dengan pengedaran mangkok merah, masyarakat kanayatn mempunyai pula suatu kemampuan ghaib untuk mengerahkan massa, yaitu Tariu[3].
2. Pertanda gawat dareuat atau berbahaya
a) Bunyi
burung ketupong (Iban) atau antis (banuaka’). Bunyi disebelah kiri
jalan sebagai peringatan untuk waspada akan bahaya, yang dapat menimpa
pendengar atau keluarganya. Bila bunyi disebelah kiri, atau bersahutan
dengan bunyi disebelah kanan, pertanda bahwa keaadan sudh gawat.
b) Bunyi burung lang (iban)atau burung bua (banua ka’)pada malam hari,mengisyaratkan sesuatu yang kurang menyenangkan akan terjadi.
c) Penampakan kesulae atau buyah (Iban), babau pampang surabe( banuaka) yaitu kupu-kupu besar yang berwarna loreng yang datang kerumah, menandakan bahwa ada kerabat dekat yang meninggal dunia
d) Bunyi buraung pok (iban) pada malam hari menanda kan bahwa akan ada kerabat yang meninggal dalam waktu dekat
e) Bunyi kijang (iban) atau kidang (pada saat sibuk bekerja) pada saat sibuk bekerja di ladang sebagai pertanda berita buruk.
f) Ada ular melintas didepan ketika melakukan perjalanan, sebagai tanda adanya malapetaka
g) Adanya pungu (Iban/ Banuaka’) yaitu sepotong kayu yang sudah mati jatuh disekitar tempat bekerja menandakan bahwa ada kabar buruk.
h) Mimpi patah gigi geraham menandakan ada kerabat yang meninggal.
3. Pertanda keadaan yang menyenangkan
a) Bunyi
burung nendak (Iban) atau andak (Banuaka’) disebelah kiri
jalanmenandakan keadaan aman, sebelah kanan menandakan keadaan yang
menyenangkan dan bersahutan di kiri dan kanan menandakan keadaan
menyenangkan.
b) Penampakan kesulai (Iban) atau babau (banuaka’) yaitu;
1) Kupu-kupu kecil sebagai pertanda tamu biasa
2) Kupu-kupu besar sebagai petrtanda ada tamu terkemuka atau kerabat dekat.
4. Pertanda larangan
a) Pasindang
atau sindang (Banuaka dan Iban) yang menandakan larangan mengambil,
atau mengganggu, atau merusak. Apabila terjadi pelanggaran, maka yang
bersalah akan disingar/ditunggu (Banuaka’ dan Iban) yaitu dikenakan
sanksi denda adat sesuai dengan sifat perbuatan atau pelanggaran
tersebut.
b) Tingkalungan (Banuaka’) yaitu suatu tanda terkabung yang dipasang diperbatasan kampong/desa.
5. Pertanda perdamaian
Sebagai
tanda perdamaian atau persahabatan umpamanya pada masyarakat tampayatn
dipakai tempayan kecil yang bertutupkan piring dihalaman rumah, dengan
sejumlah sesajen, dihiasi dengan bunga atau daun.
6. Lain-lain simbol atau lambang
a) Ukiran naga (Banuaka’=Binawa, Iban=Nabao)sebagai lambang kebesaran.
b) Ukiran dan bulu burung enggang (Banuaka’=Tantakuan, Iban=Kenyalang)sebagai lambang perkasaan, disamping makna lain:
1) Untuk Iban sebagai lambang pemujaan
2) Untuk Banuaka’ sebagai hiasan hanya dibolehkan bagi satria yang pernah berperang;
c) Bulu burung Ruae/Kuawo (Banuaka’=Aruwe, Iban=Ruae) sebagai lambang keindahan
d) Tato:
1) Pada tangan perempuan Kayan menandakan bahwa dia keturunan seorang bangsawan;
2) Pada jari tangan laki-laki orang iban menandakan bahwa dia seorang satria pernah berperang.
BAB III
PENUTUP
Uraian
tersebut diatas menunjukan bahwa masyarakat Dayak merupak bagian
integral dari alam sekitarnya, yang menghendaki seorang menyesuaikan
diri dengan tata cara yang ditetapkan oleh alam.
Demikian
pula untuk menjaga keseimbangan alam sekitr termasuk region magis oleh
masyarakat disepakati berbagai ketentuan atau norma yang harus ditaati
atau dipatuhi. Oleh karena itu , tidak heran kalau masih banyak warga
masyarakat Dayak yang mengerti dengan baik tanda-tanda alam, dan percaya
serta tetap menjalin hubungan dengan alam, terutama bagi symbol dan
lambang.
Hal
tersebut sebagaimana pula yang dikatakan oleh DR. Soerjono Soekanto,
SH.,MA, bahwa: “Orang Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari alam
sekitarnya, dan didalam segala tingkah lakunya. Untuk mencapai
kebahagian hidup seorang harus menyesuaikan diri dengan tata cara
sebagaimana telah ditetapkan oleh alam sekitarnya”. Dan: “Suatu
perbuatan yang melamnggar diartikan sebagai suatu tindakan yang
mengganggu dalam keseimbangan alam, oleh karena itu, sanksi-sanksi atas
pelanggaran demikia ditujukan untuk perbaikan kembali keseimbangan alam, (alam pikiran kosmis)”. (Pokok-pokok Sosiologi Hukum 1980:23).
Dilain
pihak sebagaimana dikatakan oleh Surojo Wignjodipuro,SH bahwa “… Dimana
ada masyarakat, disitu ada hokum (adat). Hokum yang terdapat didalam
masyrakat manusia betapa sederhana dan sekecil apapun masyarakat itu
menjadi cerminnya… begitu pula halya dengan hokum adat di Indonesia.
Hokum adat itu senantiasa tumbuh dari suatu kebutuhan hidup yang nyata,
cara hidup dan pandangan hidup yang keseluruhannya merupakan kebudayaan
masyarakat tempat hokum adat itu berlaku’. (Pengantar dan Azas-azas
hokum Adat 1973:80-81).
Hubungan
dengan berbagai macam symbol dan maknanya dengan hokum adat dan alam
sekitar, tidak terlepas dari berbagai faktor yang sekaligus juga
merupakan cirri dari masyarakat hokum adat tersebut.
[1]
Penulisan Dayak tanpa huruf “K” (Daya) dimulai pada tahun 1947 setelah
kongres persatuan dayak di Sanggau dan dimuat pada surat kabar keadilan
(Sumber F.C Palaunsoeka dan Baroamas) Jabang Balunus
[2] Golongan budak hanya ada pada zaman dahulu sekarang sudah dihapuskan
[3] Yaitu teriakan histeris yang mampu menggerakan masa dan mengandung kekuatan ghaib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar